13 May 2009
Legenda Silat-Si Jampang
HUT IPSI yang ke-60
Sekjen PB IPSI Erizal Chaniago, di Jakarta, mengatakan, Festival Pencak Silat tahun ini dipusatkan di Padepokan TMII. Event ini, menurut Erizal, menarik karena tradisi pencak silat dari seluruh Indonesia akan ditampilkan. Bagi yang belum pernah melihat tradisi dari Aceh, akan ditampilkan debus yang unik, kata Ical, panggilan akrab Erizal.
Debus biasa kita kenal berasal dari Banten, tapi Aceh juga memiliki tradisi yang sama. Namun, ada yang unik dalam peragaan nanti. Kita akan menyaksikan dalam festival nanti, selain dari Aceh juga dari daerah lainnya yang jarang kita lihat. Berbagai aliran perguruan akan muncul dalam festival yang akan berlangsung selama empat hari itu, tutur Erizal Chaniago.
Erizal mengatakan, selain Festival Pencak Silat, juga akan berlangsung Seminar Nasional Bela Diri Negara tanggal 18 Mei 2008 di tempat yang sama. Dalam seminar sehari itu akan hadir Panglima TNI Djoko Santoso sekaligus yang akan membukanya. Selain itu Gubernur Lemhanas Muladi, Menegpora Adhyaksa Dault, dan Ketua Umum KONI Pusat Rita Subowo.
Peran pencak silat sangat erat kaitannya dalam upaya mempertahankan negara. Karena itu, kali ini seminar mengambil tema 'Peran Aktif Pencak Silat dalam Bela Negara', ucap Erizal menambahkan.
Dalam memperingati HUT ke-60 IPSI, panpel juga menggelar Sarasehan Pencak Silat dan Pers tanggal 16 Mei 2008. Pada sarasehan itu akan dibahas pemahaman dan istilah-istilah pencak silat, sejarah pencak silat, dan peran pencak silat dalam perjuangan bangsa. Selain itu, juga peran pers terhadap kemajuan pencak silat di masa mendatang. (Syamsudin W)
Sumber : suarakarya-online.com & Silatindonesia
Senjata Tradisional Betawi
SENJATA TRADISIONAL BETAWI
Oleh : Gusman Natawidjaja
Proses asimilasi dan tranformasi kebudayaan pada suatu daerah, yang meski letak geografis saling berjauhan, memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan model senjata tradisional. Proses ini terjadi pada satu kebudayaan yang mempunyai karakter terbuka, seperti pada kebudayaan Melayu yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India (abad 1M) dan Cina (abad 16 M).
Bagi masyarakat Betawi yang menurut arkeologi Uka Tjandrasasmita sebagai penduduk natif Sunda Kelapa (Monografi Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977), memiliki senjata tradisional yang belum terpengaruh kebudayaan asing sejak zaman Neolithikum atau zaman Batu Baru (3000-3500 tahun yang lalu). Hal ini dapat ditemukan pada bukti arkeologis di daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia.
Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.
Senjata Tradisional Betawi Genre Awal
- Rotan
Rotan adalah jenis senjata tradisional Betawi yang digunakan pada permainan Seni Ketangasan Ujungan, termasuk kategori senjata alat pemukul. Disinyalir dari Seni Ujungan inilah awal beladiri berkembang. Pada masa awal terbentuknya Seni Ketangkasan Ujungan, rotan yang digunakan mencapai panjang 70-100cm. Pada ujung rotan disisipkan benda-benda tajam seperti paku atau pecahan logam, yang difungsikan untuk melukai lawan.
Pada perkembangannya rotan yang digunakan hanya berkisar 70-80cm, selanjutnya paku dan pecahan logam di ujung rotanpun tidak lagi digunakan untuk pertandingan yang sifatnya hiburan, rotan jenis ini dipakai hanya ketika berperang menghadapi musuh sesungguhnya. Tubuh lawan yang menjadi sasaranpun dibatasi hanya sebatas pinggang ke bawah, utamanya tulang kering dan mata kaki.
- Punta
Punta adalah senjata tajam jenis tusuk, dengan panjang sekitar 15-20cm. Senjata ini lebih berfungsi sebagai senjata pusaka yang menjadi simbol strata sosial pada waktu itu, karena senjata tajam ini tidak pernah digunakan untuk bertarung. Di Jawa Barat mungkin dikenal sebagai Kujang, namun Kujang lebih variatif dari segi bentuk dan motif ciung.
- Beliung Gigi Gledek
Beliung adalah sejenis kapak dengan mata menyilang kearah gagang pegangan, umumnya digunakan sebagai perkakas untuk membuat kayu. Beliung Gigi Gledek merupakan jenis kapak dengan mata kapak terbuat dari batu, merupakan teknik pembuatan senjata sisa peninggalan zaman batu baru di Betawi yang masih tersisa antara abad 1-3M. Beberapa tokoh yang diketahui pernah menggunakan ini sebagai senjata andalannya adalah Batara Katong (Wak Item) dan Salihun pemimpin kelompok Si Pitung. Beliung digunakan Salihun sebagai sarana dalam melakukan aksi perampokan maupun pelarian dengan memanjat pagar tembok.
- Cunrik (Keris Kecil Tusuk Konde)
Cunrik merupakan senjata tradisional para perempuan Betawi, biasa digunakan oleh para resi perempuan yang tidak ingin menonjolkan kekerasan dalam pembelaan dirinya, terbuat dari besi kuningan dengan panjang kurang dari 10cm. Salah seorang resi perempuan yang terkenal menggunakan cunrik ini adalah Buyut Nyai Dawit, pengarang Kitab Sanghyang Shikshakanda Ng Karesiyan (1518). Dimakamkan di Pager Resi Cibinong.
Senjata Tradisional Betawi yang dipakai dalam Maenpukulan
- Kerakel (Kerak Keling) / Blangkas
Kerakel (Kerak Keling) merupakan jenis senjata pemukul, merupakan perkembangan dari senjata rotan Ujungan. Orang Betawi Rawa Belong lebih mengenalnya dengan sebutan Blangkas.
Batang pemukul pipih memiliki panjang lebih pendek dari rotan (40-60cm), terbuat dari hasil sisa pembakaran baja hitam (kerak keling) yang dicor. Ujung gagang lancip yang difungsikan juga sebagai alat penusuk. Pada gagang dibuat lebih ringan dengan bahan terbuat dari timah. Agar tidak licin para jawara zaman dulu melapisinya dengan kain. Sekilas bentuk Kerakel mirip dengan Kikir, sejenis perkakas yang difungsikan sebagai pengerut besi.
Pada akhir abad 17 orang-orang peranakan cina di luar kota memodifikasi kerakel menjadi sebuah bilah dengan dua mata tajam, di sebut Ji-Sau (Ji, berarti dua-Sau, berarti bilah). Seiring dengan perkembangan waktu, lidah masyarakat Betawi memetaforkan kata ji-sau menjadi pi-sau, sekalipun pi-sau hanya bermata satu.
- Golok
Golok merupakan jenis senjata tajam masyarakat Melayu yang paling umum ditemukan, walaupun dengan penamaan yang berlainan berdasarkan daerahnya. Sebagian besar masyarakat di pulau Jawa sepakat menamakan senjata tajam jenis “bacok” ini dengan golok.
Pada masyarakat Betawi keberadaan golok sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa Barat yang melingkupinya. Perbedaan diantara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan penamaannya, sedangkan kualitas dari kedua daerah ini memiliki kesamaan mengingat kerucut dari sumber pande besi masyarakat Betawi mengacu pada tempat-tempat Jawa Barat, seperti Ciomas di Banten dan Cibatu di Sukabumi.
- - Golok Gobang
Golok Gobang, adalah golok yang berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek. Panjang tidak lebih dari panjang lengan (sekitar 30cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok Gobang yang pada ujung (rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni digunakan sebagai senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan Golok Candung. Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran hewan, hanya melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah menyebutnya dengan istilah “Gagang Jantuk”.
Bilah golok gobang polos tanpa pamor atau wafak yang umum dipakai sebagai golok para jawara, dengan diameter 6cm yang tampak lebih lebar dari golok lainnya
- - Golok Ujung Turun
Golok jenis ini adalah golok tanding dengan ujung yang lancip, panjang bilah sekitar 40cm, dengan diameter 5-6cm. Umumnya golok Ujung Turun ini menggunakan wafak pada bilah dan motif ukiran hewan pada gagangnya. Gagang dan warangka golok lebih sering menggunakan tanduk, hal ini dimaksudkan sebagai sarana mengurangi beban golok ketika bertarung. Di Jawa Barat golok jenis ini merupakan perpaduan antara jenis Salam Nunggal dan Mamancungan.
- - Golok Betok & Badik Badik
Golok Betok adalah golok pendek yang difungsikan sebagai senjata pusaka yang menyertai Golok Jawara, begitupun Badik Badik yang berfungsi hanya sebagai pisau serut pengasah Golok Jawara. Kedua senjata tajam ini digunakan paling terakhir manakala sudah tidak ada senjata lagi di tangan.
Siku
Orang Betawi menyebutnya sebagai Siku, karena bentuknya yang terdiri dari dua batang besi baja yang saling menyiku atau menyilang. Ujung tajam menghadap ke lawan. Dalam setiap permainan siku selalu digunakan berpasangan. Dalam istilah lain senjata tajam jenis ini disebut Cabang atau Trisula.
Sumber berita: silatindonesia
SEMINAR PENCAK SILAT
(Menggali Nilai Filosofi dan Relevansi dalam Konteks Zaman)
Seni bela diri Pencak Silat dikenal sebagai salah satu hasil budaya asli Indonesia. Dipercaya bermula dari bangsa Melayu yang ada di pesisir Sumatra dan Semenanjung Malaya, Pencak Silat telah berkembang di nusantara sejak abad Ke-VII. Dalam kelanjutannya, Pencak silat dianggap pula sebagai salah satu identitas dari bangsa Indonesia. Tidak hanya menekankan pada teknik bela diri, melainkan pula makna filosofis dan berbagai aspek dalam masyarakat. Nilai moral spiritual, Seni gerak, bela diri, dan olahraga adalah aspek-aspek yang terkandung dalam pencak silat.
Jika dilihat sekilas, pencak silat dianggap sebagai olahraga yang berhubungan dengan fisik saja. Namun, jika kita melihatnya lebih dalam, akan terungkap nilai-nilai filosofis yang luhur. Tiap gerakan dalam pencak silat itu sendiri, tidak lepas kaitannya dengan nilai moral tata krama ketimuran danreligi. Inti dari ilmu dalam pencak silat adalah pertahanan dan penyerahan diri pada ilahi.
Dalam konteks modern, pencak silat dinilai banyak orang sebagai seni bela diri yang tidak populer untuk dipelajari. Sangat jauh dirasakan ketika dibandingkan dengan karate, taekwondo, dan wushu dalam bidang ketenaran. Kurangnya informasi mengenai pencak silat dan mind set orang Indonesia yang import oriented inilah menyebabkan pencak silat seakan tenggelam dalam negerinya sendiri. Oleh karena itu, Departemen Kajian Budaya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia 2009, dengan tujuan memberikan ide, bukan informasi tanpa guna, menyelenggarakan Seminar Pencak Silat yang bertajuk “Menggali Nilai Filosofi dan Relevansi dalam Konteks Zamanâ€.
Hari dan TEMPAT
- Hari/tanggal : Kamis, 28 Mei 2009
- Jam : 10:00 — 16:00 WIB
- Tempat : Auditorium gedung IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia kampus Depok
Pembicara
1. Purwoto Hadi Purnomo (Pendiri perguruan dan guru besar Merpati Putih).
2. Bagus Takwin (Aktivis, penulis, dan akademisi dari Fakultas Psikologi UI).
Moderator: I Yudhi Soenarto (Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI).
Acara berupa seminar, workshop, dan demo dari perguruan silat Merpati Putih dan Cingkrik.
Disediakan pula coffee break dan hiburan.
Seminar ini terbuka untuk seluruh mahasiswa sevitas akademia Universitas Indonesia dan masyarakat umum.
Datang dan maknai nilai luhur dalam warisan budaya bangsa Indonesia ini, karena bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang menghargai tradisi lokalnya.
08 May 2009
Mari Majukan Persilatan
“Sejak berkembangnya olahraga seni bela dari pencak silat pada awal tahun 1970-an dan tumbuh subur di Asia Tenggara, bahkan merebak hingga ke penjuru dunia, pemerintah hanya melihat pencak silat sebagai bagian dari cabang olahraga yang sama dengan cabang-cabang lainnya, yakni cabang olahraga yang sekadar melatih otot dan keterampilan, yang pengembangan dan pembinaannya dilakukan di bawah naungan KONI,” tutur Wahdat Mardi Yuana, Kepala Subdit Seni Pertunjukan Direktorat Kesenian Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sabtu (27/1) di Jakarta.
Pemerintah, tambah Wahdat, kalau mau sedikit mengubah pola pendekatannya terhadap pencak silat, dengan melihatnya sebagai bagian dari warisan budaya bangsa, akan mendapat manfaat yang luar biasa besar. Lagi pula, Indonesia tidak akan kalah langkah dari Pemerintah Malaysia yang telah menjadikan pencak silat ini sebagai olahraga nasionalnya.
Akhir minggu lalu Datuk Sri Utama Mohamad bin Haji Hasan, Presiden Persekutuan Silat Kebangsaan Malaysia atau Pesaka, menegaskan bahwa seni bela diri pencak silat sudah diakui sebagai olahraga negara Malaysia. Untuk itu, pencak silat sudah tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara Malaysia.
Untuk pengembangan dan menuangkan pencak silat dalam bentuk kurikulum, Presiden Pesaka akan minta bantuan kepada Presiden Persekutuan Pencak Silat Antarabangsa (Persilat).
“Tentu dengan langkah memasukkan pencak silat sebagai olahraga negara Malaysia, secara tidak langsung membuat kita yang selama ini berkecimpung dalam pembinaan dan pengembangan pencak silat ke penjuru dunia iri,” tutur Gambiro, Presiden Setia Hati.
Untuk diketahui, kata Gambiro—purnawirawan TNI AL itu—Pesaka itu pendiriannya dimotori oleh Eddie Marzuki Nalapraya yang saat itu masih menjadi Ketua Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (PB IPSI). “Saat itu Eddie tengah berusaha mendirikan Persilat,” ujar Gambiro.
Akan tetapi, sekarang, setelah pencak silat dikenal dan berkembang hingga ke penjuru dunia, tambah Sekretaris Pengda IPSI DKI Jakarta Mansur Soleh, malah Malaysia yang lebih dulu menjadikan seni bela diri pencak silat ini sebagai olahraga bangsa Malaysia. “Kalau pemerintah tanggap, seharusnya melakukan suatu langkah yang bermanfaat. Jangan seperti kasus Pulau Sipadan,” ujar Mansur.