Penulis: Ignatius Sunito
PENCAK SILAT MERAMBAH DUNIA SETELAH ITU?
Kejuaraan Dunia Pencak Silat ke-8 kini tengah berlangsung di Singapura (12-19 Desember) yang tentu Indonesia juga ikut ambil bagian. Kita tidak menyoroti para pesilat Indonesia yang kini tengah berlaga, meskipun pertandingan baru dimulai sudah ada tiga pesilat kita langsung rontok di ronde pertama. Berarti harapan untuk menjadi juara umum juga kandas.
Berbicara tentang pencak silat, kenangan lama timbul kembali, karena bagaimanapun sebagai seorang wartawan, saya merasa ikut andil mempopulerkan cabang ini yang semula di cap sebagai “ilmu bela diri kampung”menggiring “masuk kota”. Artinya sebagai cabang olahraga yang bisa dipertandingkan setelah ekshibisi di PON Surabaya 1969. Tentu saja sarana promosinya melalui tulisan di media cetak, yang waktu itu saya masih menjadi wartawan OR KOMPAS, bersama rekan wartawan lain yang tergabung dalam SIWO/PWI Jaya.
PR besar ini harus sudah selesai sebelum PON 1973/Jakarta, yang mana pencak silat sudah menjadi mata acara resmi sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan. Jalannya tidak gampang dan mulus, karena setiap pertandingan sebagai arena pemanasan selalu berakhir dengan kericuhan. Maklum setiap pesilat dari masing-masing perguruan mempunyai standar teknik sendiri-sendiri yang dianggap efektif. Maka, tak heran pula banyak perguruan pencak silat yang mengklaim diri sebagai cabang yang tak bisa dipertandingkan. Selain ada persyaratan mempunyai “tenaga dalam” juga katanya jika dipertandingkan bisa mengakibatkan kecelakaan fatal bagi lawannya.
Jujur saja tokoh pembaharu IPSI, sebenarnya, ya duet Eddy- Oyong Karmayudha(kini masih menjadi ketua I PB IPSI). Dan secara jujur pula, ketika pencak silat berhasil merambah dunia, justru kita sebagai negara asal malahan kehilangan nyali atau tidak mempunyai pesilat tangguh. Dominasi olahraga ini malahan pindah ke Vietnam, negara di mana memperoleh kemajuannya justru dari para pelatih Indonesia.
Demikian juga dengan cabang bela diri dari Korea, taekwondo, yang juga sudah masuk Olimpiade, maka setiap kejuaraan internasional, dominasi Korea tetap tak tergoyahkan. Kuncinya? Ternyata ada di SDM, dan ini diakui secara jujur oleh Oyong Karmayudha kepada BOLA. Saya pernah meliput kejuaraan dunia karate di Tokyo 1977. Tim Inggeris, Italia, Australia, Brasil, Amerika Serikat, semuanya dilatih oleh anak-anak asuhan Prof. Masatoshi Nakayama. Demikian juga dengan tim Jepang yang nota bene diasuh oleh pelatih-pelatih yang berasal dari satu induk. Hasilnya, karateka Jepang masih tetap unggul. Kuncinya? Kata Nakayama waktu itu, adalah SDM karena semua teknik maupun sistem kepelatihan praktis sama atau sudah standar. Ya, saya tidak heran waktu itu, kalau melihat reputasi SDM Jepang ini di bidang apa saja. Dan waktu itu pencak silat masih dalam periode untuk mengukukuhkan diri sebagai cabang olahraga yang layak dan pantas untuk dipertandingkan.
Masih ingat ketika enam tahun lalu ketika negara kita terlanda krisis multidemensi? Kata pakar pula, kita juga kehilangan satu generasi akibat kekurangan nutrisi. Padahal menurut penyelidikan generasi yang kekurangan gizi ini bisa berakibat menjadi manusia yang agresif dan bertingkah laku asosial, di awali sejak anak-anak yang sudah susah untuk mengendalikannya. (Pernah di muat di KOMPAS tetapi tanggalnya lupa?).
Nah, kalau pencak silat di tahun 1978 menemukan orang kuat seperti Eddy Nalapraya, yang praktis waktu itu negara kita lagi benci-bencinya dengan apa saja yang berbau Cina. Justru di Cina sendiri pada tahun yang sama terjadi semacam reformasi dan membuka diri, gaige kaifang, yang hasilnya, luar biasa kalau kita lihat kemajuan Cina saat ini. Negara kita mengalami masa reformasi 20 tahun kemudian, namun sampai enam tahun berjalan kita selalu kehilangan momen atau menyia-nyiakan waktu dengan pertikaian intern yang sangat menguras energi.
Perjalanan pencak silat untuk meniru jejak judo, taekwondo, dan karate agaknya masih terlalu panjang. Lagi-lagi kuncinya di SDM!
No comments:
Post a Comment